Gebrakan Presiden Sukarno membuat gentar negara-nera Barat dan Amerika. Sukarno mampu membangun ikatan solidaritas di antara bangsa-bangsa di Asia, Afrika bahkan Rusia. Salah satunya diwujudkan dalam poros Jakarta-Peking-Pyongyang-Moscow.
Dulu di era Sukarno, poros Jakarta-Peking-Pyongyang-Moscow ini sangat kuat. Indonesia menerima banyak bantuan dan tawaran persahabatan dari China, Korea Utara dan Rusia.
Bukan tanpa alasan Sukarno lebih memilih negara-negara tersebut. Sukarno tak mau menerima bantuan dari Amerika Serikat yang penuh syarat dan kepentingan politis. Ketika melawat ke AS dan memiliki kesempatan berpidato di depan kongres AS, Sukarno dengan tegas menolak bantuan dari negara adidaya itu.
“Indonesia menolak diperlakukan seperti seekor kenari dalam sangkar emas dan diberi makanan yang enak-enak. Indonesia ingin diperlakukan seperti burung garuda yang berada di atas batu cadas tetapi bebas berjuang mencari makanannya sendiri. Jangan membanjiri Dolar anda ke Indonesia dengan disertai ikatan karena pasti akan ditolak,” tegas Sukarno dengan marah sekitar tahun 1955.
Para anggota Kongres AS terpesona dengan pidato tersebut. Secara spontan mereka berdiri dan memberi tepuk tangan panjang sebagai penghormatan atas sikap Sukarno.
Baca : Kisah Pilot AS Bayaran Dalam Perjuangan Awal Kemerdekaan Bangsa Indonesia
Hubungan Sukarno dan AS sempat sangat baik saat John F Kennedy menjadi presiden AS. Berkat persahabatan keduanya Indonesia bisa memperoleh pesawat angkut C-130 Hercules. Secara tulus, Kennedy juga memberikan helikopter kepresidenan untuk Sukarno.
Namun setelah Kennedy ditembak, hubungan Indonesia dan AS menjauh. AS terlalu congkak untuk menganggap Indonesia sebagai mitra sejajar.
Maka Sukarno berpaling ke Blok Timur yang menyambutnya dengan tangan terbuka. Sukarno menggambarkan dengan dramatis bagaimana pemimpin Uni Soviet Nikita Kruschev menyambutnya.
Di suatu hari yang sangat dingin di Rusia, Kruschev menjemput Sukarno. Tanpa banyak bicara dia mengajak Sukarno dan memberikan pinjaman tanpa bunga untuk Indonesia. Dari Soviet pula Indonesia mendapat aneka persenjataan canggih untuk operasi militer merebut Irian Barat.
Mulai dari pesawat tempur, pesawat pembom, kapal selam, kapal patroli hingga rudal anti serangan udara. Indonesia sempat menjadi negara paling kuat di Asia tahun 1960an.
Sukarno pun bersahabat dengan Ketua Mao. Sambutan untuk Sukarno di Peking saat itu sangat meriah, seolah menyambut tamu agung.
Dengan Kim il Sung, Sukarno pun bersahabat sangat baik. Kim tak pernah lupa pemberian Anggrek Sukarno yang selalu dianggapnya hadiah paling istimewa.
Poros Jakarta-Peking-Moscow-Pyongyang pun terbentuk. Blok Barat, AS dan sekutunya panas dingin melihat Indonesia makin ke-kiri-kirian. Di satu sisi, mereka pun takut berhadapan dengan Indonesia karena angkatan perangnya yang kuat. Apalagi China dan Uni Soviet berada di belakang Indonesia.
Poros ini hancur saat Soeharto berkuasa. Pemerintah Orde Baru memutus semua hubungan dengan negara Blok Timur dan mulai mesra dengan AS dan Eropa Barat.
Semua perlengkapan perang yang dibeli dari Rusia satu-satu rusak karena kekurangan suku cadang. Kekuatan udara Indonesia nyaris tak tersisa di akhir tahun 1960an.
Namun Barat pun bukan sekutu yang baik. Indonesia pernah merasakan pahitnya embargo persenjataan hingga pesawat-pesawat Hawk dan F-16 nyaris tak bisa terbang.
Di era pemerintahan Jokowi, Kerja sama Indonesia dan Tiongkok makin hangat. Wakil Ketua Komisi I, Tantowi Yahya mengaku bisa melihat ketakutan sejumlah negara barat dengan langkah Indonesia yang makin mendekatkan diri pada Tiongkok.
"Apakah ini upaya untuk meraih dukungan Tiongkok yang kembali akan dijadikan sahabat utama? Time will tell. Namun yang jelas, Jepang sebagai aliansi Amerika dan saudara tua kita, saat ini sangat mengkhawatirkan politik luar negeri kita yang saat ini lebih condong ke Tiongkok," kata Tantowi di Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (23/4).
Dirinya bahkan memuji keberanian pemerintah dalam menentukan langkah politik internasionalnya itu, sebagai sebuah resiko demi membangun Indonesia yang lebih baik, dan adil dalam pemerataan kesejahteraan.
"Ada kekhawatiran poros Jakarta-Beijing-Pyongyang akan hidup lagi," ujar Tantowi.
Kini akankah peta politik dunia kembali berubah dan Poros Jakarta-Peking-Moscow-Pyongyang membuat takut negara lain sebagai sebuah kekuatan politik dan ekonomi? Sumber: Merdeka.com
Baca: Sejarah: KRI Irian 201, Simbol Persahabatan dan Saksi Runtuhnya Hubungan Soviet dan Indonesia
EmoticonEmoticon