Kamis, 10 Maret 2016

Berikut Kedahsyatan Strategi Militer Abu Bakar Shiddiq Menaklukan Negara Adidaya Romawi dan Persia

Dengan mempelajari penaklukan miter yang terjadi pada masa khilafah Abu Bakar, kita mampu melihat pola strategi kunci yang ia gunakan untuk meraih kemenangan melawan musuh. Di antara strategi penting tersebut adalah sebagai berikut:



a. Menaklukkan Wilayah Musuh Satu Kota Satu Waktu

Jelas, bagi kalangan umat Islam, pengambil keputusan dan strategi secara umum dalam perang waktu itu adalah Abu Bakar, bukan para komandannya. Abu Bakar menggunakan layanan dari para utusannya yang terpercaya dan cepat untuk bisa berkomunikasi secara konstan dengan para komandannya. Dengan mempelajari invasi Irak dan Syam, kita mampu melihat bahwa ada dua macam keputusan yang perlu diambil:

Pertama, terkait dengan strategi perang secara umum yang meliputi persoalan antara lain: siapa yang menyerang, kapan menyerang, kapan mundur, kapan bergabung dengan pasukan lain, kapan merasa cukup dengan jumlah tentara dalam satu kesatuan pasukan, dan seterusnya. Seorang komandan Muslim bisa membuat keputusan secara langsung di lapangan hanya ketika aksi tersebut perlu diambil dengan segera—yaitu ketika tidak ada waktu untuk menunggu perintah Abu Bakar. keputusan dan kemudian menginformasikan kepada Abu Bakar keputusan tersebut.

Kedua, tentang keputusan tempur, yang harus dilakukan terkait dengan strategi tempur untuk perang tertentu—di mana menempatkan masing-masing batalion, di mana menempatkan pasukan kavaleri, formasi apa yang terbaik untuk mengalahkan musuh, dan seterusnya. Keputusan tersebut hampir selalu diserahkan kepada para komandan.

Di antara keputusan yang masuk kategori pertama adalah pertanyaan tentang seberapa cepat pasukan muslim harus melakukan penetrasi ke dalam teritorial musuh. Satu teori menyatakan bahwa pasukan Islam sebaiknya melakukan penetrasi ke dalam teritorial musuh sedalam dan secepat mungkin. Namun, Abu Bakar menolak teori ini. Ia dengan tegas memerintahkan kepada para komandannya untuk mengamankan wilayah musuh yang paling dekat sebelum melakukan penetrasi ke dalam teritorial musuh yang lebih dalam.

Ketika Abu Bakar memerintahkan Khalid dan Iyad untuk menyerang Iraq dari wilayah utara dan selatan, ia mengirimkan pesan yang sama kepada keduanya: “Siapa pun di antara kalian yang tiba lebih dahulu di Al-Hirah, ia menjadi pemimpin kalian. Jika kalian berdua telah berkumpul di Al-Hirah—insyaallah—dan berhasil menghancurkan pertahanan Persia, sehingga kalian dan kaum muslimin yang bersama kalian merasa aman, hendaknya salah seorang di antara kalian menjadi pelindung kaum muslimin di Al-Hirah. Adapun yang lain hendaknya menyerang tentara Persia dan melucuti semua persenjataan mereka.”

Surat ini menunjukkan bahwa Abu Bakar bukanlah pemula dalam seni perang. Sebaliknya, ia adalah veteran dari banyak perang. Ia sangat tahu bagaimana cara mengalahkan musuh dan bagaimana mematahkan keinginan mereka.

Superioritas wawasan perang Abu Bakar diakui oleh ahli perang terhebat saat itu, yaitu Khalid bin Walid. Khalid tidak hanya melaksanakan perintah Abu Bakar, tetapi ia juga paham bahwa dengan menjalankannya merupakan hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk meraih kemenangan. Ketika Khalid berjalan ke wilayah utara Al-Hirah untuk membantu Iyad menuntaskan misinya, ia berhenti di Karbala. Pasukan Islam banyak yang mengeluh kepadanya tentang banyaknya lalat.

Kemudian Khalid berkata kepada Abdullah bin Watsimah, “Sabarlah, karena aku ingin menghancurkan benteng musuh yang ia diperintahkan untuknya, sehingga kita bisa menduduki wilayah tersebut bersama dengan orang-orang Arab dan melindungi pasukan Islam dari serangan dari garis belakang. Kemudian orang-orang Arab akan mendatangi kita tanpa rasa takut dari sergapan musuh. Demikianlah perintah khalifah untuk kita, dan sungguh, idenya memang benar-benar menyelamatkan umat.”


Di Iraq, Al-Mutsanna bin Haritsah mengadopsi strategi yang sama. Saat itu, Abu Bakar berpesan kepadanya, “Perangilah orang-orang Persia di garis perbatasan tanah mereka, di tempat yang paling dekat dengan tanah Arab. Jangan menyerang di daerah musuh. Jika Allah menampakkan tanda-tanda kemenangan untuk pasukan Islam, bergeraklah maju di belakang mereka. Jika tidak, kembalilah ke dalam barisan, karena musuh lebih mengetahui seluk-beluk negeri mereka, dan lebih berani melakukan serangan dari tempat mereka, sampai Allah membalikkan keadaan mereka.”

Adapun dalam menaklukkan negeri Syam, padang tandus senantiasa berada di belakang pasukan Islam, sebagai upaya perlindungan diri. Meski sudah demikian posisinya, pasukan Islam tetap memastikan sebelumnya bahwa pasukan musuh tidak mungkin menemukan cara untuk menyerang mereka secara tiba-tiba dari arah belakang.

Di samping itu, mereka juga telah lebih dahulu menguasai kota serta daerah yang berada di samping kanan dan kiri mereka. Semua celah yang dapat di masuki musuh juga telah diantisipasi dengan melakukan berbagai serangan. Area yang mereka tempati itu pun senantiasa berada dalam pengawasan dan penjagaan yang sangat ketat.



Posisi pasukan Romawi dan Pasukan Muslim yang dipimpin Khalid bin Walid dalam Perang Yarmuk


b. Memobilisasi dan Mengonsolidasikan Pasukan

Abu Bakar tidak menyelenggarakan wajib militer pada masa kekhilafahannya, atau dengan kata lain, ia tidak memaksa seorang pun untuk ikut serta dalam berperang. Namun, kemenangan tidak akan tercapai tanpa jumlah pasukan yang cukup. Abu Bakar tidak lah menginvasi kekuatan yang remeh, tapi dua kekuatan super power saat itu, yaitu imperium Romawi dan Persia.

Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana ia mendapatkan pasukan untuk mencapai tujuannya menaklukkan Iraq dan Syam? Ini adalah pertanyaan yang bagi Abu Bakar tidak dianggap remeh, terutama dengan mempertimbangkan fakta bahwa ia menerapkan aturan yang sangat ketat dalam perekrutan pasukan. Ketika Khalid dan Mutsanna memutuskan untuk meminta pasukan tambahan, karena jumlah pasukan mereka tidak mencukupi kebutuhan perang yang ada, Abu Bakar kemudian membalas surat keduanya dengan berkata, “Ambillah pasukan Islam yang sebelumnya ikut Perang Riddah dan orang-orang yang tetap berada dalam agama Islam setelah Rasulullah wafat. Jangan kalian merekrut pasukan dari kalangan orang yang pernah murtad sekalipun mereka insaf, sebelum saya memutuskan apa yang harus aku lakukan kepada mereka.”

Meski demikian, Abu Bakar mengambil beberapa langkah kunci untuk meyakinkan rakyatnya agar bersedia berjihad: Ia menyampaikan ceramah yang menggerakkan, dengan mengingatkan rakyatnya tentang pahala berjihad di jalan Allah. Selain itu, ia juga meminta bantuan kepada umat Islam di Yaman. Dampaknya, banyak orang yang secara sukarela bergabung untuk berperang di Iraq dan Syam.

Ringkasnya, waktu itu tidak diperlukan wajib militer karena sukarelawan yang bergabung untuk berperang sudah mencukupi, mereka menunggu janji Allah: kemenangan atau mati sebagai syuhada. Dan faktanya, karena tingginya keimanan mereka, banyak orang yang lebih memilih pilihan kedua.

Abu Bakar memfokuskan energinya untuk meyakinkan rakyatnya agar bergabung bersama pasukannya tidak hanya sebelum invasi Irak dan Syam, namun juga saat invasi berlangsung. Ia terus mengirimkan pasukan tambahan untuk para komandannya—beberapa pasukan batalyon yang terdiri dari ratusan orang—hingga akhir hayatnya.

c. Memastikan Tujuan Perang

Abu Bakar Ash-Shiddiq tentu saja tahu apa tujuan utamanya dalam menginvasi Irak dan Syam, tapi itu tidak cukup: Ia juga memastikan bahwa seluruh prajuritnya mempunyai pemahaman yang sama. Dalam ceramahnya, dan juga dalam nasihat yang ia berikan kepada para komandan dan prajuritnya, Abu Bakar menegaskan bahwa mereka berperang untuk menyebarkan pesan Islam, untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia di dunia, dan mencegah para tiran yang mencegah rakyatnya dari mempelajari agama yang benar.

Para komandannya juga paham tentang tujuan mereka. Hal ini terbukti dari kesamaan pilihan yang diberikan kepada musuh: masuk Islam, membayar jizyah, atau perang.

d. Mengirim Pasukan ke Tempat yang Paling Membutuhkan

Abu Bakar Ash-Shiddiq mempunyai kebijakan yang jelas soal pengiriman pasukan ke medan perang: Jika ia berperang di banyak front, ia akan mengonsentrasikan pasukannya di front yang paling penting. Namun, bukan berarti ia mengesampingkan front yang lain. Ia berusaha seimbang, mengonsentrasikan sebagian besar pasukan di tempat yang paling membutuhkan, dan mengirimkan unit dan pasukan lain ke front lainnya.

Contoh, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengerahkan sebagian besar pasukannya untuk memerangi orang-orang murtad, karena mereka memberikan ancaman yang dekat dan berbahaya bagi umat Islam, namun ia tidak mengesampingkan medan tempur lainnya, yang dibuktikan dengan fakta bahwa ia tetap mengirimkan pasukan Usamah untuk berperang di perbatasan Romawi.

Dengan kata lain, Abu Bakar Ash-Shiddiq menunjukkan kemampuan yang brilian dalam menata distribusi pasukannya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pada pertengahan dan akhir kekhilafahannya, ia juga menyebarkan pasukannya antara Iraq dan Syam.

Lalu, ketika ia memandang bahwa perang di Syam tidak begitu baik hasilnya sebagaimana di Iraq, ia memerintahkan Khalid bin Walid untuk membawa separuh pasukannya dan pindah dari Iraq ke Syam. Dengan kondisi di mana mayoritas pasukannya berada di Syam, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak berarti mengabaikan Iraq. Ia tetap menyisakan beberapa pasukan yang mencukupi di sana, dan menunjuk seorang pemimpin yang tangguh dan bijaksana, Mutsanna bin Haritsah. Contoh di atas hanyalah salah satu contoh.

Sepanjang kekhalifahannya, Abu Bakar Ash-Shiddiq terus menyebarkan, menyebarkan ulang, menugaskan, dan mentransfer pasukan berdasarkan tingkat kebutuhan di masing-masing medan perang. Dengan melakukannya dalam sebuah cara yang secara strategis sangat brilian, ia telah menanamkan kepercayaan diri kepada para pasukannya, yang memahami bahwa jika jumlah mereka jauh lebih sedikit dibanding musuhnya, mereka bisa meminta kepada sang pemimpin untuk mengirimkan pasukan yang cukup, yang paling tidak bisa memberi kesempatan bagi mereka untuk menang.

e. Mengganti Komandan Perang

Tidak ada gubernur, komandan, atau pemimpin pasukan yang dijamin bahwa ia akan menduduki jabatannya seumur hidup; sebaliknya, semua pejabat pemerintah terus dievaluasi berdasarkan performa mereka. Jika seseorang lalai dalam tugasnya, ia akan dipecat. Dan bahkan jika seseorang jujur dan sudah melakukannya semampu yang ia lakukan, namun ternyata gagal untuk mencapai misinya,

Abu Bakar Ash-Shiddiq akan mempertimbangkan untuk memecatnya jika ada yang dirasa mampu mengerjakannya dengan lebih baik. Ini adalah sikap yang adil dan benar, karena dalam kebijakan Abu Bakar Ash-Shiddiq kebaikan bersama yang lebih luas lebih penting dibanding perasaan individu. Ini adalah realita pelayanan publik di masa kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan harusnya menjadi realita dalam pemerintahan manapun.


Misalnya, saat Khalid bin Said gagal dalam menjalankan misinya di Tabuk. Khalid bin Said adalah orang yang jujur dan tulus; ia melakukan yang terbaik untuk menjalankan misinya, namun pada akhirnya gagal. Hal tersebut tidak membuat derajatnya berkurang sebagai seorang Muslim, namun kondisi tersebut memicu pertanyaan apakah ada orang lain yang mampu untuk menggantikan peran yang gagal dijalankan oleh Khalid bin Said tersebut. Abu Bakar Ash-Shiddiq terus memikirkan pertanyaan ini dan akhirnya memutuskan untuk mengganti Khalid dengan Ikrimah.

Pada akhirnya, Ikrimah berhasil menyelesaikan misinya. Selain itu, meski seseorang mempunyai kualifikasi untuk melakukan satu tugas, dan bahkan mempunyai performa yang baik, Abu Bakar Ash-Shiddiq tetap tidak segan-segan menggantinya jika ada orang yang mempunyai kualifikasi yang lebih baik. Mutsanna menunaikan tugas dengan sangat baik di Irak, namun Khalid mempunyai kualifikasi yang lebih baik dan lebih memiliki kemampuan untuk memenangkan pertempuran di masa depan. Dan di Syam, Abu Ubaidah sangat cocok memimpin pasukan di wilayah tersebut, namun lagi-lagi Abu Bakar Ash-Shiddiq berpikir bahwa lebih baik menggantinya dengan seorang komandan militer yang lebih baik, Khalid bin Walid.

Karenanya, dalam soal urusan penunjukan dan penggantian komandan militer, Abu Bakar Ash-Shiddiq lebih mementingkan kebaikan bersama umat Islam dibanding perasaan perseorangan. Sebagai pemimpin kaum muslimin, Abu Bakar Ash-Shiddiq paham bahwa dalam perang, dan dalam kehidupan secara umum, kepentingan yang sedikit tidak melebihi kepentingan orang banyak.

f. Berkomunikasi secara Konstan dengan Para Komandan Perang

Pada masa kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, belum ada kamera, foto satelit, pesawat pengintai, telepon, atau segala bentuk teknologi lain yang memudahkan pemimpin untuk berkomunikasi dengan pasukannya secara real time. Selalu ada masa, selalu ada delay: waktu yang diperlukan oleh utusan untuk berjalan dari medan perang ke Madinah.



‘War room’ di era modern. Pada masa khalifah, Abu Bakar Ash-Shiddiq mampu mengendalikan ‘war room’ dengan efektif meski tak memiliki kecanggihan tekhnologi seperti satelit.


Namun, berdasarkan seluruh peristiwa yang terjadi selama perang riddah dan juga invasi ke Irak dan Syam, seolah-olah Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak berada di Madinah, namun hadir dalam setiap zona perang. Dia memberi komando dan merencanakan rute perjalanan bagi pasukannya seolah-olah ia bisa melihat semua yang terjadi di zona perang, dan seolah-olah ia memiliki akses peta modern yang menunjukkan topografi setiap wilayah.

Bagaimana Abu Bakar Ash-Shiddiq bisa seolah-olah hadir di setiap medan perang? Tidak dengan sihir tentunya, namun ia melakukannya dengan sistem pengiriman pesan yang rumit yang telah ia kembangkan bersama dengan para komandannya. Sebagaimana pentingnya pasukan di medan tempur, para pembawa pesan yang berjalan di antara Madinah dan medan perang juga sangat penting. Mereka membawa pesan antara Abu Bakar dan para komandannya.

Para utusan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang-orang yang terpercaya, mereka hanya sedikit beristirahat untuk memastikan pesan sampai secepat mungkin. Mereka juga sangat hati-hati dan menjaga rahasia, untuk menghindari informasi tentang rencana Abu Bakar Ash-Shiddiq jatuh ke tangan musuh.

g. Mengisolasi Medan Perang

Ketika Abu Bakar mulai menyiapkan pasukan untuk memerangi Romawi dan Persia, ia mengirimkan Khalid bin Sa’id ke Tabuk dengan misi utama menguasai wilayah strategis sebagai titik utama untuk bergerak. Abu Bakar melakukan itu agar pasukannya menjadi pelindung bagi kaum muslimin selanjutnya. Ketika Khalid bin Sa’id tidak berhasil dalam menjalani misinya ini, dan justru melakukan kesalahan, Ikrimah bin Abu Jahal ditugaskan menggantikan posisinya.

h. Strategi Perang yang Selalu Berkembang Seiring Perubahan di Lapangan

Saat berita keberangkatan pasukan Romawi yang didukung kekuatan orang-orang Damaskus sampai ke telinga Abu Bakar, ia segera menulis surat kepada Abu Ubaidah yang berbunyi, “Kerahkanlah pasukan berkudamu ke wilayah antara Al-Qura dan As-Sawad. Desaklah pasukan musuh dengan menutup jalan antara Mirah dan Madah, serta janganlah mengepung Madain sebelum aku memerintahkannya.”

Itu adalah perintah pertama, dan setelah Abu Bakar mengirim pasokan tentara yang cukup, ia pun kembali menulis surat, “Jika musuh menyerang pasukanmu, lawanlah mereka dan berdoalah memohon bantuan Allah untuk menghadapi mereka, karena jika setiap kali musuh mendapat bantuan maka kami pun akan mengirim bantuan pasukan seperti mereka.” [kiblat]


EmoticonEmoticon